Ketika Idul Fitri
banyak orang rindu untuk segera mudik. Rindu dengan keluarga, rindu suasana
kampung halaman yang ngangenin. Nah, saya juga ikutan rindu, kepingin bisa
merasakan mudik lebaran, karena semua keluarga dan saudara tinggal di Klaten. Sejak
kecil ketika lebaran saya selalu penasaran bagaimana rasanya mudik lebaran. Saya
berpikir seperti itu karena seumur-umur saya belum pernah mudik lebaran. Info mudik
selalu menjadi tontonan favorit di televisi (beneran). Lebaran kali ini saya
kudet dengan info mudik di televisi, hanya beberapa hari yang lalu lewat internet yang saya baca berita duka datang dari
saudara-saudara kita di Brebes. Semoga amal ibadahnya diterima disisiNYA dan
keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Aamiin. Mudik lebaran yang untuk
sebagian saudara kita bukan waktunya untuk berkumpul bersama keluarga tapi
untuk berpisah. Menjadi pengingat bagi kita bahwa mudik ke kampung akhirat lah
mudik yang sebenarnya. Perjalanan dengan sebaik-baik bekal yang harus selalu kita
persiapkan. Berharap dengan peristiwa ini menjadi bahan evaluasi Pemerintah
untuk mengatasi kemacetan tidak hanya ketika musim lebaran atau libur panjang.
Saya memang tidak
pernah merasakan mudik lebaran. Tidak tahu bagaimana sulitnya mendapatkan
tiket, tidak tahu bagaimana berdesak-desakan di perjalanan. Hanya mudik
mingguannya anak kost dengan jarak yang dekat tapi sudah menumbuhkan rindu
mendalam dengan keluarga. Halahhh..tapi berbicara kemacetan di perjalanan saya sudah
sering mengalaminya. 2 tahun terakhir perkuliahan memutuskan menjadi anak
penglaju. Bus dan kereta adalah sahabat saya yang menghubungkan Klaten-Solo. aahhh
jadi baper. Bengawan atau Prameks jadwal
terpagi selalu menjadi incaran. Ontime, mengurangi kemacetan, bisa istirahat di
kereta, bisa memprediksi waktu. Itu kelebihannya selain alasan utamanya juga
karena kagak berani naik motor jauh-jauh. Berbeda dengan bus yang terkadang
bikin galau, dag dig dug rasanya menunggu. Teringat ketika itu ingin menemui
dosen pembimbing skripsi. Dari rumah memutuskan untuk naik kereta tapi jadwal
kereta masih lama. Kemudian naik bus dan macet luar biasa di jalan. Saya beranikan
telepon, memohon agar bersedia menunggu. Alhamdulillah, “iya mbak gak apa-apa,
saya tunggu” lega raanya. Hihiiii mengenang perjalanan dengan bus itu penuh heroik.
Halah. Tidak bisa diprediksi, cepat atau lama menunggu. (pernah hampir 4 jam
nunggu bus). Jika sudah naik bus perjuangan tidak lantas berhenti, jalanan yang
terkadang macet adalah teman yang siap menghadang. Berbeda ketika naik motor
bisa nyempil-nyempil ya. Kalau di rumah tidak ditunggu saya bisa rileks di bus.
Tapi terkadang ibu saya telpon, “nduk wes tekan ngendi, iki anak-anak wes do
teko arep les”. Haaaaaaa makin sedih rasanya jika membiarkan mereka harus menunggu
saya lama, apa iya ?, walau jadwal les masih nanti. Berasa ingin loncat dan
terbang langsung sampai rumah.
Dan cara yang paling
jitu mengatasi kegalauan kemacetan jalanan adalah berdzikir. mengamati
gerak-gerik orang yang lalu lalang di luar bus yang membuatmu untuk lebih
bersyukur dengan kerasnya kehidupan yang harus mereka jalani, menjadi tempat
berbagi cerita bagi orang yang duduk disebelah kita.
Kembali ke rindu
mudik tadi yaaaa. saya belum pernah mengalami mudik tapi saya bisa merasakan kebahagiaan dan kegembiraan yang telah
tergambar jelas di pikiran, bisa membuat kita sabar menghadapi cobaan dalam
menjalankan proses. Kebahagiaan bertemu orang tua, keluarga, kebahagiaan bisa
kembali ke rumah yang penuh kenangan, kebahagiaan bisa kembali menginjak tanah
penuh harapan, kebahagiaan untuk sejenak merilekskan pikiran dari pekerjaan, siap bersabar menjalani perjalanan panjang yang melelahkan, siap
bersabar menjalani kemacetan yang memusingkan.
Barakallah yang akan
beranjak mudik kembali ke tanah rantauan, selamat sampai tujuan.